AS-SIYADAH | 37 Masalah Populer Ustadz Abdul Somad

Advertisement

Penawaran Terbatas! Paket Data 25GB Hanya Rp 90.000


Dapatkan kuota besar 25GB untuk semua nomor AS, Loop, dan simPATI hanya dengan Rp 90.000, berlaku selama 30 hari! Internet lancar tanpa khawatir kehabisan kuota, cocok untuk streaming, gaming, dan browsing sepuasnya!

Aktifkan sekarang dan nikmati kebebasan internet!

Read More Beli Paket
Advertisement
MASALAH KE-35: AS-SIYADAH | 37 Masalah Populer Ustadz Abdul Somad

AS-SIYADAH | 37 Masalah Populer Ustadz Abdul Somad 37 Masalah Populer Ustadz Abdul Somad 37 masalah populer ustadz abdul somad pdf  77 masalah populer abdul somad  99 masalah populer abdul somad  99 masalah populer abdul somad pdf  free download 37 masalah populer  37 masalah populer abdul somad pdf download  buku ustadz abdul somad pdf  buku abdul somad pdf

As-Siyadah (Mengucapkan "Sayyidina Muhammad Saw")
Ada orang-orang yang sangat anti dengan kata Sayyidina. Sampai-sampai seorang jamaah mengadu, “Ustadz, ketika saya memutar CD ceramah Ustadz, saudara saya yang mendengarnya langsung menyuruh saya agar mematikannya, karena Ustadz menyebut, ‘Sayyidina Muhammad (Saw)’ di awal ceramah”.

Tentulah ini berangkat dari fanatisme dan kejahilan.
Kata Sayyid yang berarti tuan atau pemimpin bukanlah kata yang dibuat-buat generasi belakangan. Rasulullah Saw sendiri menggunakan kata Sayyid dalam ucapannya,



عَنْ أَبِي سَعِيدٍ أَنَّ أَهْلَ قُرَيْظَةَ نَزَ لُوا عَلَى حُكْمِ سَعْدٍ فَأرَْسَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللََُّّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْهِ فَجَاءَ فَقَالَ قُومُوا إِلَى سَي دِكُمْ

Abu Sa’id al-Khudri berkata, “Penduduk Quraizhah berada di bawah kepemimpinan Sa’ad bin Mu’adz. Rasulullah Saw mengutus utusan agar membawa Sa’ad (ke Madinah). Maka Sa’ad bin Mu’adz pun datang. Ketika ia datang, Rasulullah Saw berkata kepada orang-orang Anshar, “Berdirilah kalian untuk pemimpin kalian”. (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Dalam pembahasan ini saya bagi pembahasan penggunaan kata Sayyidina menjadi dua: menggunakan kata Sayyidina di luar shalat dan kata Sayyidina di dalam shalat.

Menyebut “Sayyidina Muhammad Saw” di Luar Shalat.
Allah SWT berfirman :

فَنَادَتْه الْمَلاَئِكَة وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِ ي فِي الْمِحْرَ اب أَنَّ اللََّّ يُبَ شرُكَ بِيَحْيَى مُصَ دقًا بِكَلِمَةٍ مِنَ اللََّّ وَسَي دًا وَحَصُورًا وَنَبِيًّا مِنَ الصَّالِحِينَ
( 39 )

“Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang puteramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah, menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu)”. (Qs. Al ‘Imran [3]: 39). Jika untuk nabi Yahya as digunakan kata [وَسَي دًا ], mengapa kata Sayyid tidak boleh digunakan untuk Nabi Muhammad Saw yang Ulul’Azmi dan memiliki keutamaan lainnya.



لَا تَجْعَلوُا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا

“Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain)”. (Qs. An-Nur [24]: 63). Ini adalah perintah dari Allah Saw, meskipun perintah ini bukan perintah yang mengandung makna wajib, akan tetapi minimal tidak kurang dari sebuah anjuran, dan mengucapkan Sayyidina Muhammad adalah salah satu bentuk penghormatan dan memuliakan Nabi Muhammad SAW.
Adh-Dhahhak berkata dari Ibnu Abbas, “Mereka mengatakan, ‘Wahai Muhammad’, dan ‘Wahai Abu al-Qasim’. Maka Allah melarang mereka mengatakan itu untuk mengagungkan nabi-Nya”. Demikian juga yang dikatakan oleh Mujahid dan Sa’id bin Jubair. Qatadah berkata, “Allah memerintahkan agar menghormati nabi-Nya, agar memuliakan dan mengagungkannya serta menggunakan kata Sayyidina”. Muqatil mengucapkan kalimat yang sama. Imam Malik berkata dari Zaid bin Aslam, “Allah memerintahkan mereka agar memuliakan Nabi Muhammad Saw”280.

 Adapun beberapa dalil dari hadits, dalam hadits berikut ini Rasulullah SAW menyebut dirinya dengan lafaz Sayyid di dunia, beliau juga mengingatkan akan kepemimpinannya di akhirat kelak dengan keterangan yang jelas sehingga tidak perlu penakwilan, berikut ini kutipannya:

Riwayat Pertama:
Abu Hurairah berkata, “Rasulullah SAW bersabda,

أَنَا سَي د وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Aku adalah Sayyid (pemimpin) anak cucu (keturunan) Adam pada hari kiamat”281. Dalam riwayat lain dari Abu Sa’id Al Khudri dengan tambahan, وَلَا فَخْرَ “Bukan keangkukan”282. Dalam riwayat lain dari Abu Hurairah, أَنَا سَي د النَّاسِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Aku adalah pemimpin manusia pada hari kiamat”. (HR. al-Bukhari, Muslim at-Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Majah, asy-Syama’il, Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Khuzaimah dalam At-Tauhid, hal.242-244, Ibnu Hibban, al-Baghawi (4332), an-Nasa’i dalam al-Kubra).

Riwayat Kedua:
Dari Sahl bin Hunaif, ia berkata, “Kami melewati aliran air, kami masuk dan mandi di dalamnya, aku keluar dalam keadaan demam, hal itu disampaikan kepada Rasulullah SAW, beliau berkata, ‘Perintahkanlah Abu Tsabit agar memohon perlindungan’. Maka aku katakan, يَا سَي دِي وَالرُّقَى
صَالِحَة ‘Wahai tuanku, ruqyah itu baik’. Beliau menjawab,

 لَا رُقْيَة إِلَّا فِي نَعْسٍ أَوْ حُمَةٍ أوَْ لَدْغَةٍ ‘Tidak ada ruqyah kecuali pada jiwa atau demam panas atau sengatan (binatang berbisa)’.”283
Perhatikan, dalam hadits ini Sahl bin Hunaif memanggil Rasulullah SAW dengan sebutan Sayyidi dan Rasulullah Saw tidak mengingkarinya. Ini adalah dalil pengakuan dari Rasulullah Saw. Tidak mungkin Rasulullah SAW mengakui suatu perbuatan shahabat yang bertentangan dengan syariat Islam.

Riwayat Ketiga:
Terdapat banyak riwayat yang shahih yang menyebutkan lafaz Sayyidi yang diucapkan para shahabat. Diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan Aisyah dalam kisah kedatangan Sa’ad bin Mu’adz. Rasulullah Saw berkata:
قُومُوا إِلَى سَي دِ كم فَأَنْزَلُوْه “Berdirilah kamu untuk (menyambut) pemimpin kamu”284.
Al-Khaththabi berkata dalam penjelasan hadits ini, “Dari hadits ini dapat diketahui bahwa ucapan seseorang kepada sahabatnya, “Ya sayyidi (wahai tuanku)” bukanlah larangan, jika ia memang baik dan utama. Tidak boleh mengucapkan itu kepada seseorang yang jahat”.

Riwayat Keempat:
Diriwayatkan dari Abu Bakarah, ia berkata, “Aku melihat Rasulullah Saw, al-Hasan bin Ali berada di sampingnya, saat itu ia menyambut beberapa orang, beliau berkata,

إِنَّ ابْنِي هَذَا سَي دٌ وَلَعَلَّ اللََّّ أَنْ يصُْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئتََيْنِ عَظِيمَتيَْنِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ



“Sesungguhnya anakku ini adalah seorang pemimpin, semoga dengannya Allah mendamaikan dua kelompok besar kaum muslimin”. (HR. al-Bukhari).

Riwayat Kelima:
Umar bin al-Khaththab ra berkata, أَبوُ بَكْرٍ سَي دُنَا وَأَعْتَقَ سَي دَنَا يَعْنِي بِلَالًا
“Abu Bakar adalah pemimpin kami, ia telah membebaskan pemimpin kami”, yang ia maksudkan adalah Bilal. (HR. al-Bukhari).

Riwayat Keenam:
Dalam kitab Shahih Muslim disebutkan bahwa Ummu Ad-Darda’ berkata,

حَدَّثنَِي سَي دِي أَبُو الدَّرْدَاءِ

“Tuanku Abu Ad-Darda’ memberitahukan kepadaku, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda,

دُعَاءُ الأَخ لأَخِيْهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتجََابٌ

“Doa seseorang untuk saudaranya tanpa sepengetahuannya itu adalah doa yang dikabulkan”.

Riwayat Ketujuh:
Rasulullah Saw bersabda, الْحَسَنُ وَالْحُسَيْنُ سَي دَا شَبَابِ أَهْلِ الْجَنةَِّ
“Al-Hasan dan al-Husein adalah dua pemimpin pemuda penghuni surga”. (HR. at-Tirmidzi, hadits hasan shahih).

Riwayat Kedelapan:
Rasulullah Saw bersabda,

أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ سَي دَا كُهُولِ أَهْلِ الْجَنَّةِ مِنْ الْأَوَّلِينَ وَالْآخِرِينَ مَا خَلَا النَّبِي ينَ وَالْمُرْسَلِينَ

“Abu Bakar dan Umar adalah dua pemimpin orang-orang tua penghuni surga dari sejak manusia generasi awal hingga terakhir, kecuali para nabi dan rasul”. (HR. at-Tirmidzi).

Riwayat Kesembilan:
Rasulullah Saw bersabda,

اَلْحَلِيْمُ سَي دٌ فِي الدُّنْيَا وَسَي دٌ فِي الآخِرَة

“Orang yang sabar itu menjadi pemimpin di dunia dan akhirat”. (HR. as-Suyuthi dalam al-Jami’ ash-Shaghir).

Riwayat Kesepuluh:
Rasulullah Saw berkata kepada Fathimah az-Zahra’ ra,

الْجَنةَِّ
“Apakah engkau tidak mau menjadi pemimpin wanita penduduk surga”. (HR. at-Tirmidzi).

Riwayat Kesebelas:
Al-Maqburi berkata, “Kami bersama Abu Hurairah, kemudian al-Hasan datang, ia mengucapkan salam, orang banyak membalasnya, ia pun pergi, Abu Hurairah bersama kami, ia tidak menyadari bahwa al-Hasan bin Ali datang, lalu dikatakan kepadanya, “Ini adalah al-Hasan bin Ali mengucapkan salam”, maka Abu Hurairah menjawab,وَعَلَيْكَ يَا سَي دِي “Keselamatan juga bagimu wahai tuanku”. Mereka berkata kepada Abu Hurairah, “Engkau katakan ‘Wahai tuanku’?”. Abu Hurairah menjawab,

أَشْهَد أَ ن رَسُولَ اللََّّ صَلَّى اللََّّ عَلَيْ ه وَسَلَّمَ قالََ



“Aku bersaksi bahwa Rasulullah Saw bersabda, إِنَّهُ سَي دٌ “Ia –Al Hasan bin Ali- adalah seorang pemimpin”285.
Kata Sayyid dan Sayyidah digunakan pada Fathimah, Sa’ad, al-Hasan, al-Husein, Abu Bakar, Umar dan orang-orang yang sabar secara mutlak, dengan demikian maka kita lebih utama untuk menggunakannya.

Dari dalil-dalil diatas, maka jumhur ulama muta’akhkhirin dari kalangan Ahlussunnah waljama’ah berpendapat bahwa boleh hukumnya menggunakan lafaz Sayyid kepada Nabi Muhammad Saw, bahkan sebagian ulama berpendapat hukumnya dianjurkan, karena tidak ada dalil yang mengkhususkan dalil-dalil dan nash-nash yang bersifat umum ini, oleh sebab itu maka dalil-dalil ini tetap bersifat umum dan lafaz Sayyid digunakan di setiap waktu, apakah di dalam shalat maupun di luar shalat.

Ibnu Umar menyebut:وصلى الله على سيدنا محمد
حديث ابن عمر : " أنه كان إذا دعي ليزو قال : الحمد لله وصلى الله على سيدنا محمد إن فلانا يخطب إليكم فإن انكحتموه
فالحمد لله وإن رددتموه فسبحان الله

Kisah tentang Ibnu Umar, jika Ibnu Umar diundang untuk menikahkan, ia berkata, “Segala puji bagi Allah, shalawat untuk Sayyidina Muhammad, sesungguhnya si fulan meminang kepada kamu. Jika kamu nikahkan ia, maka Alhamdulillah. Jika kamu menolaknya, maka subhanallah”.

Syekh al-Albani menyatakan riwayat ini shahih286.

 Rasulullah Saw Mengajarkan Shalawat Dengan Lafaz Sayyidina:
عن أبي مسعود الأنصاري قال : أتانا رسول الله صلى الله عليه وسلم في مجلس سعد بن عبادة فقال بشير بن سعد أمرنا الله
أن نصلي عليك يا رسول الله فكيف نصلي عليك قال فسكت رسول الله صلى الله عليه وسلم حتى تمنينا أنه لم يسأله ثم قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم : ) قولوا

Dari Abu Mas’ud al-Anshari, ia berkata, “Rasulullah Saw datang di masjid Sa’ad bin ‘Ubadah. Basyir bin Sa’ad berkata, “Allah memerintahkan kami agar bershalawat kepadamu wahai Rasulullah. Bagaimanakah kami bershalawat kepadamu?”. Rasulullah Saw diam hingga kami berangan-angan andai ia tidak menanyakan itu. Kemudian Rasulullah Saw berkata, “Ucapkanlah:

: اللهم صل على سيدنا محمد وعلى آل محمد كما صليت على آل إبراهيم وبارك على محمد وعلى آل محمد كما باركت على
آل إبراهيم في العالمين إنك حميد مجيد والسلام كما علمتم

Riwayat ini dinyatakan shahih oleh Syekh al-Albani dalam Fadhl ash-Shalat ‘ala an-Nabi287.

 Syekh al-Albani sendiri ketika mengakhiri kitab tahqiqnya, ia tutup dengan kalimat,

وتم بحمد الله وكرمه وصلى الله على سيدنا محمد وآله وصحبه أجمعين والحمد لله رب العالمين



Dan telah sempurna dengan pujian kepada Allah Swt dan kemuliaan-Nya. Dan shalawat kepada Sayyidina Muhammad, keluarga dan semua shahabatnya, segala puji bagi Allah Rabb semesta alam288.


Ucapan Sayyidina Dalam Shalat.
Bagi orang yang sedang melaksanakan shalat, pada saat tasyahhud dan pada saat membaca shalawat al-Ibrahimiah, dianjurkan agar mengucapkan Sayyidina sebelum menyebut nama Nabi Muhammad Saw. Maka dalam shalawat Al Ibrahimiah itu kita ucapan lafaz Sayyidina. Karena sunnah tidak hanya diambil dari perbuatan Rasulullah Saw, akan tetapi juga diambil dari ucapan beliau. Penggunaan kata Sayyidina ditemukan dalam banyak hadits Nabi Muhammad Saw. Ibnu Mas’ud memanggil beliau dalam bentuk shalawat, ia berkata, “Jika kamu bershalawat kepada Rasulullah Saw, maka bershalawatlah dengan baik, karena kamu tidak mengetahui mungkin shalawat itu diperlihatkan kepadanya”.

Mereka berkata kepada Ibnu Mas’ud, “Ajarkanlah kepada kami”.
Ibnu Mas’ud berkata, “Ucapkanlah:

اللَّهُمَّ اجْعَلْ صَلَاتَكَ وَرَحْمَتَكَ وَبَرَكَاتِكَ عَلَى سَي دِ الْمُرْسَلِينَ وَإِمَامِ الْمُتَّقِينَ وَخَاتَمِ النَّبِي ينَ مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُولِكَ

“Ya Allah, jadikanlah shalawat, rahmat dan berkah-Mu untuk pemimpin para rasul, imam orang-orang yang bertakwa, penutup para nabi, Nabi Muhammad SAW hamba dan rasul-Mu …”. (HR. Ibnu Majah).
Dalam kitab Ad-Durr al-Mukhtar disebutkan, ringkasannya, “Dianjurkan mengucapkan lafaz Sayyidina, karena tambahan terhadap pemberitahuan yang sebenarnya adalah inti dari adab dan sopan santun. Dengan demikian maka menggunakan Sayyidina lebih afdhal daripada tidak menggunakannya. Disebutkan juga oleh Imam ar-Ramli asy-Syafi’i dalam kitab Syarhnya terhadap kitab al-Minhaj karya Imam Nawawi, demikian juga disebutkan oleh para ulama lainnya.
Memberikan tambahan kata Sayyidina adalah sopan santun dan tata krama kepada Rasulullah SAW. Allah berfirman, “Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Quran), mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (Qs. al-A’raf [7]: 157). Makna kata at-Ta’zir adalah memuliakan dan mengagungkan289.

Dengan demikian maka penetapannya berdasarkan Sunnah dan sesuai dengan isi kandungan al-Qur’an. Sebagian ulama berpendapat bahwa adab dan sopan santun kepada Rasulullah Saw itu lebih baik daripada melakukan suruhannya. Itu adalah argumentasi yang baik, dalil-dalilnya berdasarkan hadits-hadits shahih yang terdapat dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim, diantaranya adalah ucapan Rasulullah Saw kepada Imam Ali,


امْحُ رَسُولَ اللََّّ . قَالَ : لَا وَاللََّّ لَا أَمْحُوكَ أبََدًا

“Hapuslah kalimat, ‘Rasulul (utusan) Allah’.”

Imam Ali menjawab, “Tidak, demi Allah aku tidak akan menghapus engkau untuk selama-lamanya”290. Ini makna “Adab lebih utama dari mengikuti perintah”.

Ucapan Rasulullah SAW kepada Abu Bakar,

مَا مَنَعَكَ أَنْ تَثْبُتَ إِّذْ أَمَرْتكَُ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ مَا كَانَ لِّابْنِّ أَبِّي قُحَافَة أَنْ يُصَلِّ يَ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِّ اللَِّّّ صَلَّى اللَّّ عَلَيْهِّ وَسَلَّمَ

“Apa yang mencegahmu untuk menetap ketika aku memerintahkanmu?”.

Abu Bakar menjawab, “Ibnu Abi Quhafah tidak layak melaksanakan shalat di depan Rasulullah Saw”291. Abu Bakar lebih mengutamakan adab daripada mengikuti perintah.

Adapun hadits yang sering disebutkan banyak orang yang berbunyi,

 لَا تسَُي دُوْنِيْ فِي الصَّلاَة

“Janganlah kamu menggunakan kata Sayyidina pada namaku dalam shalat”. ini adalah hadits maudhu’ dan dusta, tidak boleh dianggap sebagai hadits. Al-Hafizh as-Sakhawi berkata dalam kitab al-Maqashid al-Hasanah, “Hadits ini tidak ada dasarnya”. Juga terdapat kesalahan bahasa dalam hadits ini, karena asal kata ini adalah سَادَ يَسُوْد jadi kalimat yang benar adalah تَسُوْدُوْنِيْ .292

Pendapat Mazhab:
قال الحنعية والشافعية : تندب السيادة لمحمد في الصلوات الإبراهيمة؛ لأن زيادة الإخبار بالواقا عين سلوك الأدب، فهو
أفضل من تركه. وأما خبر
لا تسودوني في الصلاة «
فكذب موضوع . وعليه: أكمل الصلاة على النبي وآله
اللهم صل علىسيدنا محمد وعلى آل سيدنا محمد، كما صليت على سيدنا إبراهيم وعلى آل سيدنا إبراهيم، وبارك على سيدنا محمد وعلى آل
. » سيدنا محمد، كما باركت على سيدنا إبراهيم، وعلى آل سيدنا إبراهيم في العالمين، إنك حميد مجيد

Mazhab Hanafi dan Syafi’i:
Dianjurkan mengucapkan Sayyidina pada Shalawat Ibrahimiyah, karena memberikan tambahan pada riwayat adalah salah satu bentuk adab, maka lebih utama dilakukan daripada ditinggalkan. Adapun hadits yang mengatakan: “Janganlah kamu menyebut Sayyidina untukku”. Ini adalah hadits palsu. Maka shalawat yang sempurna untuk nabi dan keluarganya adalah:

اللهم صل على سيدنا محمد وعلى آل سيدنا محمد، كما صليت على سيدنا إبراهيم وعلى آل سيدنا إبراهيم، وبارك على سيدنا
محمد وعلى آل سيدنا محمد، كما باركت على سيدنا إبراهيم، وعلى آل سيدنا إبراهيم في العالمين، إنك حميد مجيد 293

Pendapat Imam Ibnu Hajar al-Haitsami:
) قَوْلُهُ عَلَى مُحَمَّدٍ ( وَالْأَفْضَلُ الْإِتْيَانُ بِلَعْظِ السِ يَادَةِ كَمَا قَالَهُ ابْنُ ظَهِيرَةَ وَصَرَّحَ بِهِ جَ مْاٌ وَبِهِ أَفْتَى الشَّارِحُ لِأنََّ فِيهِ الْإِ تْيَانَ بِمَا
أُمِرْنَا بِهِ وَزِيَادَةُ الْإِخْبَارِ بِالْوَاقِاِ الَّذِي هُوَ أَدَبٌ فَهُوَ أَفْضَلُ مِنْ ترَْكِهِ وَإِنْ ترََدَّدَ فِي أَفْضَلِيَّتِهِ الْإِسْنَوِيُّ ، وَأَمَّا حَدِيثُ } لَا تُسَي دُونِي
فِي الصَّلَاةِ { فَبَاطِلٌ لَا أصَْلَ لَهُ كَمَ ا قَالَهُ بَعْضُ مُتأَ خرِي الْحُعَّاظِ

Ucapan Muhammad, afdhal menambahkan lafaz as-Siyadah (Sayyidina), sebagaimana dikatakan Ibnu Zhahirah, dinyatakan secara jelas oleh sekelompok ulama. Demikian juga difatwakan asy-Syarih (yang mensyarah kitab ini), karena di dalam as-Siyadah itu terkandung makna melakukan apa yang diperintahkan (memuliakan Rasulullah Saw) dan menambah pemberitaan dengan fakta kenyataan yang merupakan adab, maka lebih utama memakai Sayyidina daripada meninggalkannya, meskipun al-Isnawi bimbang tentang afdhalnya.

 Adapun hadits, “Janganlah kamu menyebut Sayyidina terhadapku dalam shalat”, ini adalah hadits batil, tidak ada dasarnya, sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian al-Hafizh generasi belakangan294.

Imam al-Hashfaki dari kalangan Mazhab Hanafi:
وندب السيادة لأن زيادة الإخبار بالواقا عين سلوك الأدب فهو أفضل من تركه ذكره الرملي الشافعي وغيره

Dianjurkan as-Siyadah, karena tambahan pemberitaan terhadap kenyataan adalah inti adab kesopanan, maka menggunakan Sayyidina lebih afdhal daripada tanpa Sayyidina. Demikian juga disebutkan Imam ar-Ramli asy-Syafi’i dan lainnya295.

Pendapat Imam asy-Syaukani:
وقد روي عن ابن عبد السلام أنه جعله من باب سلوك الأدب وهو مبني على أن سلوك طريق الأدب أحب من الامتثال .
ويييده حديث أبي بكر حين أمره صلى الله عليه وآله وسلم أن يثبت مكانه فلم يمتثل وقال ما كان لابن أبي قحافة أن يتقدم بين
يدي رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم وكذلك امتناع علي عن محو اسم النبي صلى الله عليه وآله وسلم من الصحيعة في
صلح الحديبية بعد أن أمره بذلك وقال لا أمحو اسمك أبدا وكلا الحديثين في الصحيح فتقريره صلى الله عليه وآله وسلم لهما
على الامتناع من امتثال الأمر تأدبا مشعر بأولويته

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abdissalam, ia menjadikan (Sayyidina) bagian dari menjalankan adab. Ini berdasarkan kaedah, menjalankan adab lebih disukai daripada melakukan perintah; ini didukung hadits Abu Bakar ketika ia diperintahkan Rasulullah Saw agar tegak di tempat posisi Rasulullah Saw, Abu Bakar tidak melaksanakannya. Abu Bakar berkata, “Tidak layak anak Abu Quhafah maju di hadapan Rasulullah”. Demikian juga dengan Imam Ali, beliau tidak mau menghapus nama nabi dari lembaran Shulh al-Hudaibiyyah setelah Rasulullah Saw memerintahkannya. Imam Ali berkata, “Saya tidak mau menghapus namamu untuk selamanya”. Kedua hadits ini shahih. Taqrir (pengakuan) Rasulullah Saw terhadap mereka berdua tentang tidak mau melakukan perintah karena adab menunjukkan keutamaannya296.

 Andai Dianggap Tambahan, Apakah Membatalkan Shalat?
Jika menambahkan Sayyidina itu dianggap menambah bacaan shalat, apakah menambah bacaan selain yang ma’tsur (dari al-Qur’an dan Hadits secara teks) itu membatalkan shalat?

Pendapat al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani:
جواز إحداث ذكر في الصلاة غير ماثور إذا كان غير مخالف للمأثور

Boleh membuat bacaan yang tidak ma’tsur dalam shalat, jika tidak bertentangan dengan yang ma’tsur297.

 Pendapat Imam Ibnu Taimiah:
وَهَذَا تَحْقِيقُ قَوْلِ أَحْمَد فَإِنَّه لَمْ يبُْطِلْ الصَّلَاةَ بِالدُّعَاءِ غَيْرِ الْمَأثْوُرِ ؛ لَكِنَّه لَمْ يَسْتحَِ بهَّ

Ini adalah tahqiq terhadap ucapan Imam Ahmad bin Hanbal, sesungguhnya shalat tidak batal dengan doa yang tidak ma’tsur, akan tetapi Imam Ahmad bin Hanbal tidak menganjurkannya298.

Sumber dari file pdf, 37 Masalah Populer oleh Ustad Abdul Somad Lc MA. Jika terdapat kesalahan copy paste dalam tulisan di atas, terutama untuk huruf arab, silahkan merujuk ke sumber aslinya. Download di sini.

Advertisement

Postingan Terkait

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Iklan

Close x