Charlie Hebdo: Media Pemicu Ekstrimisme

Advertisement

Penawaran Terbatas! Paket Data 25GB Hanya Rp 90.000


Dapatkan kuota besar 25GB untuk semua nomor AS, Loop, dan simPATI hanya dengan Rp 90.000, berlaku selama 30 hari! Internet lancar tanpa khawatir kehabisan kuota, cocok untuk streaming, gaming, dan browsing sepuasnya!

Aktifkan sekarang dan nikmati kebebasan internet!

Read More Beli Paket
Advertisement
Charlie Hebdo: Media Pemicu Ekstrimisme 
__________________

Saat penyerangan di Paris dahulu, banyak netizen "muslim" mengganti profile picture dengan bendera Perancis atau semisalnya, menyatakan solidaritas, bahkan belasungkawa. Begitu pun peristiwa penembakkan terkait kartun Charlie Hebdo. Netizen lokal dan interlokal menunjukkan simpatinya. 

Saat penembakkan Christchurch, semua diam, termasuk netizen Indonesia yang dahulu bangga memasang bendera "Tricolore". Bukan saja hypocrisy netizen lokal, the whole world was in an absolute silence saat Christchurch, kontras dengan peristiwa penembakkan Charlie Hebdo.
Mungkin salah satu dari sedikit negara barat yang mengecam penembakkan 50 muslim di Christchurch adalah Jerman, saat itu Angela Merkel menyatakan bahwa serangan itu adalah aksi terorisme nyata dan bentuk kebencian rasisme. Lalu Perancis? Biasa saja...

Macron "memaksa" muslim untuk toleran terhadap ideologi yang berseberangan dengan Islam, namun ia tidak toleran terhadap muslim dengan memprovokoasi dengan mensponsori poster berukuran raksasa mengilustrasikan Nabi Muhammad di sebuah gedung yang dijaga ketat oleh aparat. Macron tidak belajar dari Christchurch.

Beberapa waktu silam, seorang netizen di Perancis diperkarakan karena menampilkan slogan "Je suit Charlie Coulibaly" di saat orang-orang ramai meneriakkan "Je suit Charlie (Saya adalah Charlie)". Sebab, Coulibaly sendiri merupakan pelaku penembakan, dan aksi netizen tersebut melanggar "community standard" di Perancis.

Kebebasan berbicara memang sakral bagi Perancis, sebagaimana Fir'aun sakral bagi rakyatnya. Di lain sisi, Nabi Muhammad adalah sakral bagi muslim. Apabila kebebasan mengkritik terhadap nilai yang dianggap sakral oleh orang lain, maka tentu orang lain itu harus menerima kritik terhadap apa yang dianggap sakral olehnya. But this is not the case in France. 

Misal, mengkritik Ho*lo*cau*st merupakan sebuah tindakan yang dikenai pidana di Perancis, sementara "Je suit Charlie Coulibaly" dinilai menyalahi "freedom of speech".

Sementara itu, anak-anak muslim "dipaksa" memakan daging babi di sekolah atau menggambar kartun Nabi mereka sebagai bukti mereka adalah warga Perancis sesungguhnya (being a true French citizen) sebagaimana dikutip dari artikel milik Merve Sebnem Oruc, Dailysabah (23 Okt 2020). Di lain sisi, dua muslimah ditusuk di area sekitaran Eiffel Tower bulan ini. Si pelaku menusuk keduanya sembari meneriakkan "dirty Arabs!"

Charlie Hebdo hakikatnya memberi jalan kepada ekstrimisme baru, semua orang sadar akan lingkaran setan ini jika standar ganda kebebesan berbicara dibingkai sebagaimana Macron membingkainya.

Di Perancis, kebencian terhadap Islam melahirkan sekitar 1000 kasus islamofobia sepanjang 2019, dan 70 kasus di antaranya melibatkan kekerasan fisik terhadap muslim.

Dalam hal ini, Perancis lebih bejat dari AS. David Brooks dalam artikelnya di New York Times di 2015 silam mengatakan jika kartun Hebdo ditayangkan di area kampus di AS, ia tidak akan bertahan selama 30 detik, dan pelaku langsung dipecat, yang bersangkutan dikenai sanksi adminstratif dan bantuan finansial dicabut. 

Akhirnya, jika tidak setuju, utarakanlah dengan rasa hormat dengan baik dan elegan, bukan dengan hinaan dan provokasi, apalagi dibungkus dengan kemasan humor selera rendahan seperti stand up commedian yang mengolok simbol agama. Kita tidak dituntut menyukai seseorang, tetapi kita harus menghormati orang tersebut sesuai porsinya.

Mungkin peristiwa ini jauh di seberang samudera sana, dan tidak semegah hingar-bingar perdebatan kontroversi maulid Nabi di Medsos. Tetapi ini terkait Nabi kita, dan saudara saudari Muslim kita di sana merasakan langsung imbasnya. 

Macron beberapa waktu lalu berkata: "Islam adalah agama yang tengah mengalami krisis di seluruh penjuru dunia, kita tidak saja menyaksikannya di negara kita."

Namun Macron telah memulai sesuatu yang ia tidak akan sanggup menanggungnya, bagi karirnya, bagi Perancis, dan bagi Akhirat-nya.

Siapa saja yang menghina Rasulullah, ia tidak akan beruntung selamanya. Shallallahu 'alaihi wasallam.

Sumber: https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10221122227156694&id=1574719716
Advertisement

Postingan Terkait

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Iklan

Close x