Nafkah Batin yang Sesungguhnya, Oleh: Fitrah Ilhami (Penulis 6 buku Komedi)

Baru saja aku sampai dari kerja ketika terdengar suara tangis dari dalam kamar. Suara istri dan si kecil.

Nampak di dalam ruangan itu berserakan mainan Mas Ayas. Si sulung berhenti mainan ketika melihatku.

"Is, Uni, is." Putraku mendekat sambil nunjuk ibunya. Aku paham apa maksudnya. "Nangis. Umi nangis."

Kuletakkan ransel di lantai. Lalu menggendong si bungsu yang masih nangis di samping istri, berusaha menenangkannya. Tak lama setelah itu, aku jongkok dan memijat lembut kaki istri.

"Ada apa?" tanyaku perlahan.

Dia masih sesenggukan, "Aku capek. Anak-anak gak mau diem dari tadi. Pingin pulang."

"Pulang ke mana?"

"Ke Indramayu, lah."

"Iya, nanti kita pulang bareng. Kalau aku libur kerja."

"Aku capek, Bang. Ngurus dua anak, malam gak bisa bobo gara-gara mereka gantian rewel. Pagi harus nyuci piring, nyuci baju, masak buat bekal Abang, beresin rumah. Siang juga gak bisa istirahat, satunya bobo, satunya gantian bangun. Itu kasur depan udah tiga kali aku beresin, tiga kali juga diberantakin sama Ayas. Aku capek. Rumah udah kayak kapal pecah."

Aku terus pijit kaki istri.

"Mana Abangnya gak mau bantuin. Momong anak bentar udah dikasihkan ke aku lagi. Anak eek dikasihkan ke aku lagi."

Inilah hebatnya seorang wanita, bahkan saat nangis pun masih bisa ngeluarin banyak kata.

"Aku gak bisa nyebokin si kecil. Kalau cebok sendiri mah udah ahli," timpalku tanpa dosa.

"Gak usah bercanda. Aku capek."

"Hehe. Iya maaf bercanda tadi."

"Gak usah bercanda! Dibilangin aku capek."

Aku mingkem.

"Bantuin aku lah, Bang. Biar aku gak ngerasa capek sendiri di sini."

"Oke. Tenang. You'll never walk alone," ucapku menirukan slogan suporter Liverpool FC.

***

gambar hanya pelengkap saja :)
gambar hanya pelengkap saja :)

Esoknya, alias tadi, setelah sholat Subuh, aku langsung ke dapur. Nampak piring-piring kotor beserta sampah berserakan di sana. Jijik euy. Orang kebiasaan pegang piano, sekarang pegang sampah.

Tapi bismillah demi nepatin janji...

Aku nyalain air, kemudian mulai mencuci. Satu dua piring sih gak masalah. Tapi lama-kelamaan, kok pegel juga ya aktivitas nyuci piring ini. Boyok alias tulang belakang jadi agak nyut-nyutan.

Setelah nyuci piring, aku cuci baju. Ternyata kegiatan ini tambah bikin pegel.

Aku gak bisa bayangin gimana capeknya istri ketika harus menahan kantuk sebab seharian tak bisa tidur, lalu melakukan rutinitas seperti ini pada subuh hari, berhari-hari. Jadi sangat beralasan jika dia ngaku capek. Emang beneran capek. Ini aku cuma nyuci piring ama baju. Sedangkan istri biasa lanjut masak, mandiin anak, momong mereka. Ya Allah, jelas capek luar biasa.

Di tengah mencuci baju, tiba-tiba ada yang memelukku dari belakang. Aku kaget, kupikir kuntilanak. Ternyata dia istriku.

"Makasih ya, Bang. Udah bantuin aku meski cuma sekali-kali ini seumur hidup," ucapnya lemah.

Aku menoleh, dia tersenyum.

"Sama-sama, Neng."

"Udah, Abang sekarang berhenti. Biar aku yang lanjutin nyuci bajunya. Abang udah niat mau bantuin aku aja batin ini udah seneng banget. Sini aku gantiin, Bang."

"Gak papa kok, Neng. Biar aku selesaikan aja nyucinya."

"Makasih, ya, Bang. Makasih banyak."

Aku mengangguk.

Dalam hati aku berucap, Ya Allah, baru dibantuin sehari saja sudah seperti ini rasa syukur istri padaku.

Aku seperti disadarkan, bahwa istri sudah melakukan hal ini berulang-ulang, berhari-hari, bertahun-tahun.

Tapi seringkali aku lupa untuk membalas segala lelahnya meski hanya sekedar mengucap, "Terimakasih."

Neng, nanti ke Alpa, yuk.



Mau support lewat mana?

Terbantu dengan artikel ini? Ayo balas dengan Support Kami. Tekan tombol merah!
© ARMAILA.com. All rights reserved. Developed by Saifullah.id