Cerpen Islami Oase Bagi Kami Pencari CintaMu

Cerpen Islami Oase Bagi Kami Pencari CintaMu | Pertemuan tak selamanya lewat dunia nyata. Mungkin waktu yang tak mengijinkan. Waktu yang berselisihan. Mungkin jarak yang panjang yang memisahkan kita hampir dari ujung Pulau Jawa ke ujung yang lain. Mungkin jarak bisa ditempuh demi bertemu. Mungkin waktu bisa diusahakan. Hanya kesempatanlah yang tak ditemukan. Bukan maksud tak ingin bertemu, berkunjung, dan berbicara langsung berhadapan. Maafkanlah bila semua keinginan kita tak bisa sejalan dengan kenyataan.
armaila.com - Cerpen Islami Oase Bagi Kami Pencari CintaMu


cerpen islami romantiskumpulan cerpen islami asma nadia
cerpen islami pernikahan
cerpen islami lucu
cerpen islami helvy tiana rosa
cerpen islami terbaru
kumpulan cerpen islami
cerpen cinta islami


Dunia maya menjadi sarana pertemuan kita. Alhamdulillah. Berkat Rahmat dan Hidayah Allah SWT, kita dipertemukan melalui salah satu wadah pencari cinta Al Qur’an. Melalui Grup ODOJ [one day one juz] tepatnya Grup ODOJ 2301 kita dipertemukan. Awal yang tak saling kenal. Awal yang mungkin tak peduli. Awal yang mungkin belum bisa sekonsisten ini. Awal mungkin masih belum terlalu cinta. Sungguh cinta Allah pada makhluk-Nya benar nyata. Dari yang jauh kita didekatkan, dari yang tidak kenal kita dipertemukan. Dari yang mungkin kita kurang peduli, dibuat makin cinta. Makin cinta Allah, Makin cinta Al Qur’an, Makin cinta dan bangga menjadi seorang muslimah.
ODOJ satu grup terdiri dari 30 orang. Terbentuk langsung oleh admin di pusat. Kita tak memilih siapa yang satu grup dengan kita. Karena kita daftar via whatsapp melalui admin pusat dan adminlah yang menentukan grup kita. Mengumpulkan 30 orang menjadi satu grup, tak mudah. Berkumpul hanya berkumpul itu mudah. Tapi berkumpul bertahan untuk Istiqomah dalam tilawah dan menjadi keluarga itu semua butuh proses. Kadang ada canda, tawa, kadang ada renungan, kadang ada selisih paham, tapi semua membentuk kita jadi orang yang pengertian, dan bisa saling memaafkan.
ODOJ terdiri dari 30 orang, one day one juz, satu hari satu juz. Dengan ODOJ kita belajar untuk membaca Al Qur’an satu hari satu juz. Belajar untuk konsisten bisa selesai -kholas- satu juz sehari. Susah, ah coba dulu baru nanti protes. Awalnya memang agak susah, tapi kalau sudah biasa, pasti akan berkomentar. “ah itu biasa, kalau gak malah aneh.” Dari 30 orang grup ODOJ itulah, aku bertemu dengan seseorang yang bisa membuka mataku. Yang selama ini tak pernah terpikirkan. Kalau ada hanya di berita, paling hanya maklum. Namun saat kenalan kita sendiri yang mengalami, orang yang dekat dengan kita, semua ini akan berbeda. Berbeda cara pandang dan menanggapinya.
Seseorang yang selalu eksis di grup. Selalu memberikan semangat. Selalu memberikan renungan -tausiah. Selalu berbagi hal yang menyenangkan. Dan seseorang yang lebih banyak ceria daripada muram. Seseorang yang kadang-kadang menghilang tiba-tiba tanpa kabar berita seharian bahkan beberapa hari. Seseorang yang kadang-kadang langsung meminta maaf kalau dia tak bisa mengikuti semua, santun budinya.
Teteh Astri, panggilan akrabnya, dia adalah ketua grup ODOJ 2301 yang dipilih melalui pemilihan suara 30 anggota di grup oleh admin kami, Mbak Zein. Suatu hari setelah sekian waktu kita sama-sama belajar konsisten di ODOJ, kita terlibat obrolan yang menarik. Tentang dirinya. Tentang alasan kenapa selama ini sering menghilang di obrolan grup. Alasan yang tidak semua kawan di grup mengetahuinya. Mulailah obrolan kami, dari sharing tentang tilawah dan tentang keinginannya agar grup ODOJ 2301 bisa tetap istiqomah dalam tilawah terutama bagi mereka yang diberi kesehatan yang mungkin lebih beruntung dibanding ia, mulailah ia bercerita tentang kisah hidupnya, berharap pesan, harapan dan semangatnya dapat ia sampaikan pada banyak orang.
Teteh Astri dilahirkan di Jakarta, dengan kedua orangtua yang sangat sibuk. Ayahnya seorang pelaut dan Ibunya seorang perawat di Rumah Sakit. Anak pertama dari dua bersaudara ini merasa tak ada yang spesial darinya, karena sering ke luar masuk rumah sakit serta akademiknya yang rata-rata dibanding keluarga besarnya. Pada tahun 1993 Teteh mengikuti Bibinya yang tinggal di Bandung dan bersekolah SMP serta SMA di sana. Saat duduk di bangku SMA Teteh sering pingsan di mana saja, kapan saja tanpa tahu penyebabnya, baik saat senang, sedih bahkan hanya karena melihat barisan semut yang banyak di dinding, ia bisa pingsan. Ia pun sering dibawa ke BP -bimbingan konseling- karena dikira memiliki masalah.
Tahun 1997 Teteh lulus SMA dengan nilai terbaik, usaha tetap rajin belajar yang berat dan sulit melawan sakitnya itu pun berbuah manis. Ia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Ilmu Sosial, tapi karena seringnya ia sakit dan pingsan, Ibunya tidak memberi izin. Ia pun melanjutkan kuliah di Universitas AT–Taqwa Bandung mengambil jurusan PGTK -Pendidikan Guru Taman Kanak-Kanak. Tidak ada yang beda dari SMA maupun kuliah, pingsan masih sering datang. Ia pun sering masuk dan ke luar Rumah Sakit, anehnya Teteh belum tahu apa sebenarnya penyakit yang ia derita. Dokter hanya rajin memberi obat, menyarankan untuk istirahat dan berpesan agar tidak terlalu capai.
Hingga lulus kuliah, sakitnya makin parah disertai dengan sakit kepala yang hebat, kram di kepala dan pingsan. Kali ini pingsan yang tidak biasa, sampai tiga hari dinyatakan mati suri. Akhirnya semua aktivitas dialihkan di Rumah Sakit. Dokter umum, dokter spesialis saraf dan dokter spesialis bedah saraf berembuk, bahkan dokter spesialis bedah saraf dan dokter spesialis saraf memiliki argumen yang berbeda. Sehingga membuat keluarga besarnya tegang, terutama Ibunya. Kata dokter bedah saraf, Teteh harus operasi di kepala, sesuatu yang membahayakan. Kalau tidak cepat ditindak hanya satu tahun bisa hidup dengan cacat plus mata buta. Kata dokter saraf, rawan, kalau diambil penyakitnya maka akan terkena saraf lain, jadi 50 persen banding 50 persen.
Sungguh keputusan yang berat dan menyedihkan. Teteh hanya bilang, “dok, operasi saja jika itu yang terbaik.” Keluarga semua kaget, terutama Ibunya, Teteh pun berusaha menenangkan Ibunya.
“Bu, gak ada yang sempurna di dunia ini, kalau Teteh meninggal, Teteh sudah siap, mungkin itu yang terbaik menurut Allah. Kita bisa meninggal di mana saja dan kapan saja.” Tahun 1999 operasi dilaksanakan, Teteh mengira ia tidak akan diberi kehidupan atau ia akan cacat di kursi roda dan merepotan banyak orang. Namun Allah memberinya kesempatan lebih untuk menjadi orang yang lebih baik dan berguna bagi banyak orang.
Tak hentinya Teteh bersyukur pada Allah, memulai semangat baru yang lebih besar, Teteh sudah rindu dengan semua kegiatan serta aktivitasnya yang cukup lama vakum karena harus istirahat di Rumah Sakit. Teteh ingin kembali Liqo -pengajian- dan bertemu kawan-kawannya tapi yang ia dapat jauh dari bayangan serta angan-angannya, Ia dicampakkan oleh Murabbinya. Kata-kata Murobbi yang menyakitkan itu masih jelas terekam di kepala Teteh.
“Kamu malu-maluin saya, kenapa gak ngomong kalau kamu sakit parah. Yang dipanggil dewan sura kewanitaan, sudah kamu cari murabbiah kamu sendiri, aku tidak mau liqo dengan kamu.” Sakit rasanya mendengar hal tersebut, harapannya pupus.
Ia sampai memohon agar diberi kesempatan sekali saja, untuk terakhir kalinya. Namun tak ada respon dan sang murobbi langsung mematikan telepon. Teteh merasa terpukul, syok dan pingsan. Semangatnya turun dan drop cukup lama. Ia berpikir harus bangkit, memulai menapaki hari-hari, harus semangat dan bisa melanglang buana. Dengan tekad bisa seperti orang lain, meski bukan akhwat yang anggun dan rapi tapi ini adalah dirinya, jalannya, warna-warninya.
Tahun 2006, terjadi tsunami aceh, keinginannya membantu sesama semakin besar. Ia pun mencari info cara untuk dapat menjadi relawan di Aceh, Abunya mengultimatum, kalau ada akhwat yang pergi ke Aceh harus menikah dulu atau dijodohkan. Teteh mencoba daftar melalui Bank Syariah Mandiri dan lulus. Tapi kalimat yang terkahir sama.
“Teteh siap menikah sekarang?” Teteh tetap berusaha mencari yang tidak ada persyaratan menikah. Usaha, keinginan dan keyakinan yang kuat itu membuahkan hasil, dari Dinkes akhirnya Teteh berangkat ke Aceh.
Aceh rawan, terpencil, pulau Meulaboh masih banyak mayat. Di sana Teteh dengan UNICEF menangani anak-anak yang trauma, walau di di RS juga ikut membantu sebisanya. Dikejar-kejar GAM, ikut naik turun Truk ABRI walau ia yang paling muda. Berdua dengan teman perawat, paling kecil, paling bawel, ikutan kopi darat melaporkan kejadian hari ini ke bandung. Subhanallah, selama 2,5 bulan di Aceh, Allah memberi kekuatan, Teteh sehat dan tidak lagi pingsan seperti dulu. Dari situ Teteh ditarik oleh UNICEF walau tidak tetap, tapi ilmu akan ia kejar ke mana pun walau dengan keterbatasannya. Ia pun kembali ke Jakarta, ikut dengan rombongan komnas anak, kebetulan akan diadakan hari anak nasional, kesempatan melanglang buana itu pun ia dapatkan. Baginya tidak ada kata terlambat untuk perubahan.
November 2005, Teteh menikah melalui ta’aruf. Ia tidak percaya dengan laki-laki jika tanpa ikatan pernikahan. Ia pikir semua laki-laki sama, suka menyakiti perasaan wanita dan obral janji. Jadi ketika ta’aruf, dengan tegas ia langsung mengutarakan keinginan serta prinsipnya.
“saya mah gak mau hubungan tanpa status, kalau sudah siap mau gak kita nikah?” ternyata Pria itu siap, semua yang ia bayangkan sirna begitu saja. Ia kira Pria itu tidak siap untuk menikah secepat kilat, kalau Pria itu tidak siap, Teteh masih ingin mengejar impiannya, melaanglang buana ke Maluku. Ternyata di luar dugaan, Alhamdulillah walaupun bukan dari murabbiah, namun Pria itu hanif, saleh dan yang penting sabar terhadap Teteh yang sering sakit.
Semua kekhawatiran Ibu dan keluarga besarnya, kalau ia sulit menikah, gak bisa jadi istri untuk suami, gak bisa mandiri dan punya anak. Itu semua tidak terjadi. Sungguh Maha Suci, Maha Besar Allah dengan segala nikmatNya untuk hambaNya. Teteh bisa menikah, menjadi seorang istri dan Ibu untuk seorang putra dan seorang putrinya. Saat anak yang pertamanya usia 4 tahun Teteh sakit lagi dengan kondisi yang semakin parah. Ditambah dengan vonis-vonis dokter yang membuat Teteh mulai drop kembali. Setelah diobservasi dan terapi tangan kiri dan kaki kirinya mati rasa. Kena kejang, dingin, kadang kejang tiba-tiba. Atau dari panas balik dingin menggigil.
Teteh kembali dirawat di Rumah Sakit, tiap jam ada obat antibiotik yang dimasukkan melalui infus yang sakitnya luar biasa. Ketika kontrol di RSUD karena pingsan dengan tekanan darah 70 per 60, perawatnya dengan sinis bilang ke orang-orang, “biasa epilepsi.” Tangis Teteh pun membuncah, dadanya terasa sesak, kepalanya berat, bertahun-tahun pertanyaannya, kebingungannya akan sakit yang ia derita kini terjawab.
“kenapa gak ada yang bilang kalau aku sakit itu, kenapa semua diam, memang penyakit memalukan jadi pada diam, dan aku tahu dari perawat bukan dari keluarga sendiri.” Ia kembali drop, merasa jiwanya gersang. Ia merasa tak bersemangat bahkan dalam hal tilawah, maksimal tilawah sehari hanya 3-4 lembar, itu pun belum bisa membuat hatinya sejuk.
Hingga Ia mengenal ODOJ dari adik iparnya di bulan desember 2013. Alhamdulillah, Teteh seperti menemukan diri serta semangatnya yang dulu pernah hilang. Dengan ikut ODOJ, meski hanya melalui media sosial whatsapp. Ia bertemu dengan orang-orang saleha, sekarang ada warna-warni kehidupan lagi. Allah maha bijaksana. Ketika ia terpuruk Allah memberikan surprise yang indah. Baginya Al Qur’an sudah menjadi sahabat setianya yang selalu ada di sampingya, bagaimanapun keadaannya.
“Aku sekarang punya trauma kepala dan sakit kompleks, kalau aku masih ada napas, masih ada mata, untuk melihat, otak masih berjalan, aku harus mengkholaskan satu juz-ku. Atau ketika napas hanya satu-satu walau pakai oksigen sekalipun, kalau mata masih terbuka aku harus bisa mengkholaskan satu juz-ku walau dibaca dalam hati. Kadang sampai menangis, aku pengen dan harus membantu temen-temen yang berhalangan atau sedang sibuk, untuk mengkholaskan juznya. Ambil lelangan 2-3 juz dicicil dibaca dulu satu juz, yang lain bisa 2 juz sampai selesai jeda.” Ungkapnya penuh syukur.
Putus asa itu tiada guna dan tambah berdosa. Biar sakitnya sebagai penggugur dosa. Mudah-mudahan dilembutkan hati dengan membaca Al Qur’an.
“Aku hanya mau bilang yang sedang mengalami sakit seperti aku Allah itu ada dan akan selalu ada untuk kita, yakinlah pasti akan ada jalan keluarnya. Gak boleh banyak ngeluh, tapi buat diri kita berarti buat orang banyak. Untuk yang sehat, selalu jaga kesehatan. Tubuh kita bukan robot jangan dizholimi dengan terus menerus diforsir. Subhanallah Allah maha baik, Dia mengirimkan aku pangeran saleh dan sabar, juga anak-anakku yang aktif dan cerdas serta saleh dan saleha. Punya istana indah, yang mungil, dikala awal-awal pns suamiku. ‘Nikmat Tuhan-Mu mana yang kau dustai’. Aku akan tiba-tiba nangis kalau baca ayat itu. Aku percaya Allah memberi ujian ini tidak akan di luar kemampuan hamba-Nya. Allah ingin melihat kesabaran hamba-Nya,” pesan Teteh Astri untuk kita semua.
Cerpen Karangan: Nurul Alfiyah
Facebook: Nurul Alfiyah
Ketika duduk di bangku kelas 2 SMP cerita kocak yang dikirim oleh penulis dimuat di Majalah Mentari di rubrik “Pencak” dan penulis mendapatkan honor yang merupakan kebanggaan serta kebahagiaan di masa kecil penulis, sejak itulah penulis menyukai dan makin bersemangat untuk menulis dan saat duduk di bangku kuliah jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jember, penulis aktif di Lembaga Pers Mahasiwa Ekonomi Ecpose.


Mau support lewat mana?

Terbantu dengan artikel ini? Ayo balas dengan Support Kami. Tekan tombol merah!

Posting Komentar

© ARMAILA.com. All rights reserved. Developed by Saifullah.id