Cerpen Islami Di Balik Awan

cerpen islami romantis Cerpen Islami Sehidup Semati Cerpen Islami Di Balik Awan Cerpen Islami Aku Ingin Kembali Cerpen Islami Hikmah di Balik Cobaan Berat kumpulan cerpen islami asma nadia cerpen islami pernikahan cerpen islami lucu cerpen islami helvy tiana rosa cerpen islami terbaru kumpulan cerpen islami cerpen cinta islami Cerpen Islami Tutuplah Auratmu Kawanku Cerpen Islami Kehidupanku di Negeri Setengah Mesir Cerpen Islami Kalam Ilahi Cerpen Islami Anak Menggugat Arwah Ayahnya
Cerpen Islami Di Balik Awan | Malam yang kelam dihiasi oleh rintikan hujan. Malam ini ustad Syahrir menanyakan padaku apa impian terbesarku? Aku hanya terdiam, tak menjawab.
“Vita, kenapa kamu tidak menjawab?” tanya ustad Syahrir padaku.
“Hmm saya bingung ustad, saya tidak tahu apa impian terbesar saya.”
“ustad dulu juga pernah ditanyakan hal seperti ini oleh guru ngaji ustad.”
“Lalu, jawaban ustad apa?” tanyaku penuh penasaran.
Ustad menjawab, “Menjadi anak yang berguna bagi semua orang, setidaknya bagi orang-orang yang ustad sayangi, terutama orang yang telah melahirkan ustad.”
Aku terharu mendengar jawaban dari ustad Syahrir, dan terbukti sekarang impian terbesar ustad Syahrir telah tercapai. Beliau menjadi anak kebanggaan bagi orangtuanya dan keluarganya, menjadi orang yang terhormat di desa, menjadi ustad teladan bagi murid-muridnya dan juga menjadi ustad favoritku.
armaila.com - Cerpen Islami Di Balik Awan

==================
Cerpen Islami Hikmah di Balik Cobaan Berat
kumpulan cerpen islami asma nadia
cerpen islami pernikahan
cerpen islami lucu
cerpen islami helvy tiana rosa
cerpen islami terbaru
kumpulan cerpen islami
cerpen cinta islami
 ==================

Ketika aku berbaring di tempat tidur, aku masih teringat pertanyaan ustad Syahrir padaku. Sebenarnya impian terbesarku selama ini adalah kasih sayang dari Ibu dan membuat Ibu selalu bisa tersenyum karenaku. Tapi aku tidak ingin memberitahu ustad Syahrir, karena aku tahu pasti ustad Syahrir bilang kalau Ibuku sayang padaku. Padahal selama ini hatiku mengalami musim kemarau, haus akan kasih sayang dari seorang Ibu. Aku hanya dapat meluapkan isi hatiku ini pada sahabatku, diary. Ku akhiri diary-ku malam ini dengan harapan agar esok hari aku dapat membuat Ibuku tersenyum karenaku.
Aku terbangun dari lelapku ketika terdengar kumandang adzan di surau. Lalu ku langkahkan kakiku ke sumur untuk mengambil wudu. Setiap selesai salat, selalu ku panjatkan doa utamaku untuk orangtuaku. ustad Syahrir selalu berpesan, ketika berdoa utamakanlah memanjat doa untuk kedua orangtua, setelah itu baru untuk diri sendiri dan orang lain. Ketika hendak ke sekolah, aku berpamitan pada orangtuaku. Kebetulan Ibuku lagi berada di dapur. Dan Ayahku belum pulang dari surau.
“Bu, Vita berangkat sekolah dulu ya?”
“Iya.”
Hanya dengan jawaban, “iya.” Rasanya hatiku terkikis oleh percikan api. Ibuku tidak peduli aku sudah makan atau belum. Dan aku mencoba untuk berpikir positif. Mungkin Ibu lupa menanyakannya, karena sibuk membereskan rumah.
Sepulang sekolah, rumahku kosong, tak satupun orang berada di rumah. Aku sangat lelah dan sepertinya aku meriang. Aku yang masih mengenakan seragam sekolah, tidak menyadari bahwa aku terlelap di sofa. Beberapa menit kemudian, aku dikejutkan oleh teriakan Ibuku.
“Vita, bangun!”
“Iya bu,” aku menjawab dengan lesu. Ibu menyuruhku untuk membereskan rumah. Meskipun aku sangat lesu, namun aku akan berusaha untuk terus memenuhi perintah Ibu agar Ibu senang padaku dan bisa tersenyum karenaku.
Ketika sedang membereskan rumah, tidak sengaja aku menjatuhkan vas bunga besar yang membuat kakiku terluka terkena pecahan beling vas itu. Aku tidak sanggup berjalan lagi, kakiku telah berlumuran dengan darah. Lalu Ibu menghampiriku, dan kaget melihatku. Bukannya khawatir akan kakiku, Ibu malah merepetiku karena aku telah menjatuhkan vas besar kesayangan Ibu itu.
“Vita, kamu tahu berapa harga vas itu? 5 juta. Kamu kira gampang apa dapat uang sebanyak itu? Dasar anak tak berguna, selalu nyusahin orangtua,” kata Ibu dengan kasar padaku.
Hatiku seperti kertas yang terenyah ketika mendegar kalimat yang dilontarkan oleh Ibu, “Dasar anak tak berguna, selalu nyusahin orangtua.” Kalimat itu adalah kalimat yang ketiga kalinya ku dengar dari mulut Ibu untukku. Dan suasana pun berubah ketika Ayah datang. Ayah kaget melihat kakiku yang berlumuran darah dan wajahku yang tampak sangat pucat. Wajahku memang sudah pucat sebelum kakiku terluka, ditambah lagi karena aku takut akan darah.
“Bu, kenapa kamu malah marah-marah? Lihat kaki Vita sudah berlumuran darah begini! Seharusnya kamu lebih mengkhawatirkan keadaan Vita daripada vas itu,” kata Ayah pada Ibu sambil menggopohku.
Aku merasa senang karena Ayah masih mengkhawatirkan keadaanku, tidak seperti Ibu yang sama sekali tidak peduli akan keadaanku. Dan Ayah mengobati lukaku, sedangkan Ibu mengurung diri di kamar.
Terdengar lantang kumandang adzan magrib, aku langsung bergegas salat, meskipun kakiku masih terasa sakit. Setelah salat, ku renungkan kejadian demi kejadian dari bangun tidur hingga sekarang di atas sajadah. Terbenak raut wajah Ibu saat melontarkan kalimat, “kau anak tak berguna, selalu nyusahin orangtua,” terbesit tanya di hatiku.
“apakah aku anak kandungnya?” Semakin ku renungi sikap demi sikap Ibu terhadapku, semakin sesak dadaku dan semakin tak sanggup ku menahan air mata. Ibuku memang sejak kecil telah hidup tanpa seorang Ibu, Nenek meninggal ketika usia Ibu 5 tahun. Tapi yang menjadi pertanyaan, lebih menyakitkan mana, hidup tanpa seorang Ibu sejak kecil atau hidup dengan seorang Ibu yang hanya memandang kita sebelah mata? Tak sanggup kuutarakan perasaanku saat ini pada siapapun, bahkan diary sekalipun.
Malam ini aku memutuskan untuk tidur di sajadah, karena hatiku terasa lebih tenang. Detik demi detik, dan menit bergantikan menit, aku semakin terhanyut dalam tatihku. Dalam lelap, aku bertemu dengan Nenekku (Ibu dari Ibuku). Nenek berkata padaku.
“Vita, Nenek senang bisa melihat wajahmu. Nenek tahu kamu kecewa pada Ibumu, tapi sebenarnya Ibumu sesosok yang penyayang bagi anaknya. Ibumu bersikap begitu padamu agar kamu bisa hidup mandiri dan mudah merelakan kepergiannya. Kamu anak yang saleha, gapailah cita-citamu setinggi mungkin. Buktikan bahwa kamu dapat menggapai cita-citamu, itu akan membuat Ibumu tersenyum karenamu. Jagalah dirimu baik-baik, nak. Jangan pernah bosan panjatkan doa untuk Ibumu, agar dia tenang bersamaku.” Aku hanya terdiam membisu, dan berderai air mata. Dan tiba-tiba Nenek menjauh dari pandanganku dengan lambaian tangan.
Aku pun terbangun dengan cucuran keringat berlumuran di sekujur tubuhku. Aku teringat akan pesan Nenek, “Jangan pernah bosan panjatkan doa untuk Ibumu, agar dia tenang bersamaku.” Setelah ku cerna perkataan Nenek beberapa kali, akhirnya aku pun dapat mengerti maksud dari perkataan Nenek. Ternyata Ibu telah tiada, Ibu telah meninggalkanku dan Ayah. Ternyata selama ini, aku hanya terhanyut dalam ilusi-ilusi atas perlakuan Ibu yang melukai hatiku selama berada di sisiku.
Sekarang aku yakin, Ibu memang menyayangiku. Ibu bersikap demikian karena Ibu ingin melatihku agar aku bisa hidup mandiri tanpa kehadirannya dan dapat menggapai cita-citaku setinggi mungkin.
Aku menceritakan mimpiku semalam pada ustad Syahrir, dan ustad Syahrir tersenyum karenaku.
“Apakah sekarang kamu sudah tahu apa impian terbesarmu?”
Dan sekarang tak dapat ku pungkiri lagi, impian terbesarku adalah, “selalu dapat membuat Ibuku tersenyum karenaku, dan menjadi anak yang berguna bagi semua orang yang ku kenal dan mengenalku.”
Akan ku jadikan ustad Syahrir sebagai inspirasi dan motivasiku. Walaupun impianku masih di balik awan, aku yakin suatu saat awan itu akan berjalan untuk membuka pintu yang dapat mewujudkan impianku menjadi kenyataan. Tak akan pernah ku merasa bosan memanjatkan doa untuk Ibuku.
“Semoga Ibu tenang di alam sana, dan dapat selalu tersenyum karenaku. Suatu saat kita pasti akan bertemu kembali bu, tunggu aku di surga sana. Aku sayang Ibu karena Allah.”

Cerpen Karangan: Sarah Ferwinda
Facebook: Sarah Fer Winda


Mau support lewat mana?

Terbantu dengan artikel ini? Ayo balas dengan Support Kami. Tekan tombol merah!

Posting Komentar

© ARMAILA.com. All rights reserved. Developed by Saifullah.id