Cerpen Islami Aku Ingin Kembali

cerpen islami romantis Cerpen Islami Sehidup Semati Cerpen Islami Aku Ingin Kembali Cerpen Islami Hikmah di Balik Cobaan Berat kumpulan cerpen islami asma nadia cerpen islami pernikahan cerpen islami lucu cerpen islami helvy tiana rosa cerpen islami terbaru kumpulan cerpen islami cerpen cinta islami Cerpen Islami Tutuplah Auratmu Kawanku Cerpen Islami Kehidupanku di Negeri Setengah Mesir Cerpen Islami Kalam Ilahi
Cerpen Islami Aku Ingin Kembali | Setangkai bunga anggrek putih yang sangat aku kagumi memberikan kesejukan hati di kala aku memandangnya. Tapi kali ini bunga anggrek putih yang indah itu tak cukup mampu memberi ketenangan pada jiwaku yang sedang kalut dan kusam diterpa badai ketidakberdayaanku sebagai manusia.
Waktu terasa begitu cepat hingga aku benar–benar berada di ujung senja, di mana setiap manusia akan pulang dari setiap kesibukannya, hewan akan kembali ke kandangnya bahkan burung segera pulang ke sarangnya. Aku, aku tak tahu ke mana aku harus kembali, setelah aku pergi, kepulanganku sebelumnya bukanlah seperti kepulanganku saat ini. Kepulanganku saat ini mengukir perih yang dalam, lebih pada kata menyesal. Ya, aku menyesal mengapa nanti, sekarang aku betul-betul memulangkan raga dan jiwaku ke rumah ini. Setelah banyak hal yang ku lewatkan kenapa aku tersadar baru saja.
Armaila.com - Cerpen Islami Aku Ingin Kembali

==================
Cerpen Islami Hikmah di Balik Cobaan Berat
kumpulan cerpen islami asma nadia
cerpen islami pernikahan
cerpen islami lucu
cerpen islami helvy tiana rosa
cerpen islami terbaru
kumpulan cerpen islami
cerpen cinta islami
 ==================

Tidak kemarin, tidak sebulan yang lalu dan mengapa tidak setahun yang lalu. Aku merasa tragis dengan diriku sendiri, aku merasa keji dan merasa suram dengan semua perjalananku. Haruskah aku mengatakan benci pada takdir, tidak aku tak ingin menjadi manusia hina di hadapan Tuhan. Aku hanyalah sebulir makhluk yang merasa terasing dari diriku sendiri, aku merasa raga dan jiwaku tak menyatu seolah keduanya berjalan saling membelakangi, kehendak ragaku tak selalu sama dengan kehendak hatiku hingga akhirnya aku sadar bahwa hati selalu benar, dia dekat dengan pemiliknya, ambisi dan emosi telah mengusai dan mengalahkanku, dan saat ini aku tahu bahwa aku benar–benar kalah.
Ibu, aku tahu aku tak pantas minta maaf saat ini karena mungkin waktunya telah tertutup semenjak kepergianmu, aku tahu kita telah terpisah alam. Ruang dan jarak yang lalu selalu ku buat tak sama dengan ruang dan jarak pemisah kita saat ini. Realita ini terlalu rumit untuk aku terima, bukan karena aku tidak ikhlas akan takdir yang memisahkan kita, tapi perih ini adalah perih yang ku buat beberapa tahun aku menjadi anakmu. Penyesalan yang sampai saat ini belum bisa menghapus luka dan perih di hati ini.
Terbayang wajah Ibuku yang selalu memberi kasih sayangnya untukku, tepat di halaman rumah saat ku langkahkan kaki menaiki sebuah mobil rental untuk memuaskan hasrat dan ambisiku untuk mengejar mimpi di sebuah kota yang sangat jauh dari kampung halamanku. Ku tatap lagi wajahnya yang kusam dan mata yang sembab akibat menangisi kepergianku. Kakak tertuaku masih sabar menenangkannya sementara aku terus melaju bersama mobil itu menuju sebuah kota yang sampai saat ini aku tidak tahu kenapa aku harus terdampar di sini, dengan berbagai teka–teki kehidupan dari sejak awal sampai hari ini aku masih terus bertanya.
Setahun setelah aku meninggalkan Ibuku, aku mengalami kegagalan dalam studiku, di sinilah aku banyak mengukir kebohongan demi kebohongan dan akhirnya kebohongan itu membawa malapetaka, suatu kebodohan yang mungkin saat ini tak penting lagi untuk aku uraikan, hingga pada akhirnya aku berusaha keras untuk merubah diri mejadi lebih baik. Tragisnya di saat aku dalam keadaan lapang dan lebih dekat dengan Tuhan dengan berbagai aktivitas kerohanianku, muncul sebuah nasib yang memaksaku untuk menerimanya.
Ku putar balik memori, mengulang kembali tayangan masa lalu, begitu tegakah aku, begitu burukkah aku hingga aku tak memahami posisi Ibuku yang sedang menahan rasa sakit melawan penyakit kanker paru–paru yang merenggutnya. Aku membentaknya dengan nada keras ketika beliau tak memenuhi apa yang aku inginkan, begitu sadiskah aku sebagai seorang anak yang tak menghargainya di saat dia bicara dan mencoba akrab denganku, dan begitu durhakakah aku ketika seorang Ibu itu sedang berada pada stadium akhir penyakit kanker paru–parunya, aku justru meninggalkannya, dan sempat membentaknya dengan suara kasarku.
Sungguh aku tidak tahu Ibu, aku menyesal, dan aku muak dengan diriku sendiri. Aku mencintaimu, hanya saja terkadang masa lalu kita yang begitu kusam kebenarannya, selalu datang mengundang amarah dan ketidaksadaranku sebagai seorang anak. Masa lalu yang aku benci, masa lalu saat di usiaku yang masih membutuhkanmu kenapa kau tinggalkan aku, kemudian tiba–tiba kau datang dengan suami barumu, aku tidak terima saat itu. Enam tahun aku kehilangan kasih sayang, kasih sayang yang seharusnya ada untukku saat itu. Masih terukir dalam memoriku ketika Ibuku masuk ke dalam rumah dengan membawa seorang laki–laki yang telah menikahinya. Seolah bumi akan runtuh mendengar penjelasan Ibuku, penjelasan yang sangat aku benci, penjelasan yang membuat aku menjadi anak yang kasar.
“Rani ini Om Muksin, ayo salim dia Bapak barumu nak.”
Dengan rasa kesal aku menendang pintu dan berlari ke luar tanpa menyalami tangan laki–laki itu. Ibu mengejarku, menenangkanku lalu merayuku untuk bisa menerima status Om Muksin, hati tak rela, tapi aku tahu aku hanyalah seorang anak berusia delapan tahun waktu itu.
“Pak, ini Rani anakku.”
“Eh Rani, sini sama om!”
Begitu polosnya aku membiarkan tangan Om Muksin menggendongku, aku tidak butuh seorang Ayah baru, keberadaan Ibu saat itu yang aku butuhkan. Andaikan saat itu Ibu tak pergi meninggalkanku, dan membiarkanku hidup sampai remaja dengan Kakak, mungkin aku akan tumbuh dengan baik dengan asuhan seorang Ibu, aku tak akan tumbuh menjadi sosok yang keras kepala dan kasar. Tapi sayangnya Ibu pergi meninggalkanku selama kurang lebih enam tahun, dan ketika aku duduk di bangku kelas satu sekolah menengah atas, akhirnya Ibu pulang. Ya, Ibuku pulang ke rumah kami tanpa Om Muksin, dan yang lebih menambah kebencian dan kebekuan luka di hatiku, Ibu pulang karena telah diceraikan oleh Om Muksin seseorang yang telah ia pilih dan membiarkan aku tumbuh tanpa perhatiannya.
“Ada apalagi bu, kenapa pulang?”
“Rani Ibu sekarang seorang janda, Ibu kembali ke sini untuk mengurusmu.”
“Aku tahu mengurus diri sendiri bu.” Dengan dinginnya aku lontarkan bahasa itu.
Sejak hari itu Ibuku banyak mengalah padaku, memperlakukan aku sebaik yang aku mau. Ibu lebih banyak diam ketika aku mengomel jika ada yang salah dengan ucapan Ibu. Ibu kembali, tapi aku merasa sama saja, toh aku sudah besar, aku sudah pandai memasak, menyetrika baju sendiri dan pekerjaan rumah yang lain aku sudah bisa, beda dengan enam tahun yang lalu, baju sekolahku nyaris tak pernah disetrika, Kakak memasak dan mengurusiku dengan apa yang dia bisa, jika Kakak merasa cape dengan kerewelan dan kekanak-kanakanku aku akan menerima pukulan darinya.
Mungkin sebagian orang atau teman–teman menilai aku sebagai seorang yang kasar dan keras, aku tak mengelak, aku sadar lingkungan dan keadaan telah membentuk pribadiku, membentuk emosionalku, dan mengarahkan aku pada sebuah ambisi yang sampai hari ini mengambang tak jelas arahnya. Aku berambisi ingin menjadi seorang pilot dengan harapan bahwa aku akan selalu berada di atas awan, jarang pulang dan dirindukan oleh setiap keluarga, tapi sayang nasib justru mengantarkan aku pada sebuah organisasi pembangun jiwa, dengan konsep dan prinsip alqur’an dan sunnah Rasulullah saw, di sinilah aku tahu bahwa aku berada pada kesalahan yang besar.
Hingga pada akhirnya aku tersesat dengan ambisiku, masalah mulai bermunculan, namun aku bangga karena beberapa masalah yang tergolong berat berhasil aku lewati, namun ujian kali ini adalah sebuah ujian yang mengantarkan aku pada berbagai usaha pembenaran diriku di masa lalu, berusaha membenarkan kesalahan yang ku buat di hadapan Ibuku, namun sekali lagi waktu tak pernah bisa kompromi, aku terlalu banyak menyia–nyiakannya.
Dan suatu hari aku mendapati gambar diriku yang pupus, penyesalan kini menyertaiku. Aku tak melihat akhir dari hembusan napas Ibuku, dan yang sangat aku sesalkan, aku sungguh tidak tahu bahwa terakhir kali aku mencium Ibuku dan pergi meninggalkannya adalah sisa dari empat belas hari yang ingin dia habiskan bersamaku, hanya saja aku menolak permintaannya dengan alasan bahwa aku memiliki urusan kuliah yang tidak bisa aku lewatkan. Sungguh aku tidak tahu bahwa paru-paru Ibuku sudah parah dan sedang berada di titik stadium akhir.
Waktu tak mungkin kembali, sekalipun airmata berlinang dengan darah. Sekalipun maaf bisa diperoleh dengan taubat apakah ada yang bisa memulangkan waktu kemarin? tidak, tidak ada yang mampu. Akhirnya aku benar–benar terpisah darinya, bukan karena kebencian tapi takdir, dia yang kini telah pergi bukan aku yang meninggalkannya seperti beberapa tahun yang aku lakukan untuk menghindarinya. Saat ku terima telepon dari Kakak, suara gemetarnya bisa menyentuh hati kecilku, seolah isyarat bahwa hari itu adalah hari kepergian Ibu, kepergian yang bukan perjalanan, tapi kepergian yang merupakan kepulangan pada Sang Pencipta.
Ada perasaan mendongkol dalam hatiku untuk menyalahkan takdir, perlahan–lahan sedih dan penyesalan mulai merayap mengelilingi semua bilik di hatiku yang lama kosong. Tangisanku hari itu tak akan memulangkan senyum seorang Ibu yang telah melahirkanku. Aku mendengar isakan tangis dari Kakak tertuaku yang berusaha menjelaskan keadaan terakhir Ibu sebelum menghembuskan napas terakhirnya. Aku tidak tahu apakah ini pertolongan terhadap Ibu ataukah itu memang pantas untuknya, Ibuku menghadapi sakaratul maut dalam keadaan tenang, bahkan saat ia menghabiskan napasnya ia berusaha berada pada posisi yang baik, yakni pada posisi menghadap ke arah kiblat. Suatu kelegaan bagiku, Tuhan tak mempersulitnya.
“Ran, sabar ya.”
“iya kak, maaf Rani tidak berada di samping Ibu di saat terakhirnya.”
“tidak apa, jalannya sudah seperti itu.”
“Insya Allah hari ini saya segera berangkat.”
Hari ini aku pulang, bukan untuk bertemu Ibu, tapi untuk melepas kepergiannya. Hari ini aku kembali dengan jiwaku, yang sebenarnya memendam rindu yang ku selimuti dengan kebohongan dan keangkuhanku selama ini. Tapi ketika jiwa ini benar–benar pulang kenapa harus perpisahan yang menyambut, bukankah Ibu selalu menunggu kepulanganku? aku telah terlambat, aku pulang pada ujung senja, aku pulang di saat pemilik nyawa memanggil Ibu.
Penyesalan telah datang menyambutku, menemani dan menghantui diriku, rasa sakit terasa begitu perih, lebih perih daripada saat Ibu meninggalkanku untuk Om Muksin. Rasa sakit yang terus berdarah sampai detik ini, rasa sakit yang kubuat sendiri, tak ada yang menancapkan perih itu di hatiku yang meletakkan perih itu adalah kebencianku di masa lalu yang melewatkan begitu banyak waktuku bersama Ibu, melewatkan berbagai kesempatanku untuk berbicara baik dan lembut, dan melewatkan semua kesempatan untuk mendekap atau hanya sekedar meringankan rasa sakit yang ia derita. Oh begitu malang dirimu Rani, itu yang selalu tergumam dalam hatiku.
Hari demi hari telah terlewati, Ibu telah berada di alam terpisah dariku, lama sudah wajahnya tak ku lihat, dan sudah lama juga aku tak mendengar suaranya. Waktu terus berjalan, ketika hidup menekankan aku untuk tetap berjalan ke depan, aku harus maju namun luka masih berdarah, penyesalan masih selalu datang menyergapku di sela–sela berbagai aktivitas yang ku lakukan untuk belajar melupakan. Mungkin hal yang biasa, namun aku merasa ini kerinduan yang sebenarnya. Aku ingin kembali, pulang menemui setiap sudut rumahku yang kosong tanpa wajah seseorang yang selalu merindukanku.
Andai saja waktu bisa berputar kembali, aku ingin pulang memeluk Ibuku, mencium dan memeluknya dengan erat. Saat ini doalah yang bisa ku kirimkan untuknya, doa yang selalu aku panjatkan pada Tuhan di setiap akhir sujudku. Andaikan di kehidupan selanjutnya ada kesempatan bagi seorang anak ini untuk bertemu Ibunya, aku mohon padaMu Ya Robbi, pertemukanlah aku, ridhokah dia menjadi Ibuku, ataukah dia menyesal beranakkan aku? Bisakah aku mencium dan memeluknya? aku sangat mencintainya Tuhan.
Setiap perjalanan hidup di muka bumi ini selalu menghantarkan kita pada pembelajaran dan pendewasaan diri, seseorang tak akan pernah tahu mana yang benar jika ia tak melalui sebuah kesalahan. Sekarang aku hidup dengan seorang Kakak yang begitu baik dan penuh pengorbanan, setelah Ibu dialah yang banyak memberi dan menafkahiku, mungkin dari kesadaran itu, kini saatnya aku tunjukkan sikap yang baik pada seorang Kakak, sikap menghormati dan menyayangi, memiliki apa yang sebenarnya diberikan padaku sebagai anugerah. Sekarang Kakak menjadi orang yang paling aku utamakan, seseorang yang aku banggakan, dan seseorang yang aku sayangi. Seperti layaknya orangtuaku karena sebenarnya beliaulah yang menjadi pengganti orangtua bagiku, semenjak Ayah meninggal dunia dan sekarang Ibu juga telah pergi menyusul.
Seperti itulah hidup membawa setiap manusia pada ujungnya, tak ada yang mulus dalam menjalani kehidupan ini, semua pasti memiliki ujian beserta kadarnya masing–masing. Seperti itu pula yang terjadi denganku, penyesalan yang dalam tak boleh menjadi penghambat untuk terus melangkah, sakit pasti ada, akan tetapi waktu selalu berputar, hingga pada akhirnya waktu perlahan–lahan menghapusnya dan mulailah belajar untuk memaafkan diri sendiri. Aku sadar bahwa memang seharusnya aku pulang, pulang pada rumah dan menemui orang yang masih ada untukku. Kawan, pulanglah jika kalian merindukannya karena sebenarnya merekalah yang sangat merindukanmu.

Cerpen Karangan: Fitriyatunnisa Alhikmah
Facebook: Fitriyatunnisa Alhikmah


Mau support lewat mana?

Terbantu dengan artikel ini? Ayo balas dengan Support Kami. Tekan tombol merah!

Posting Komentar

© ARMAILA.com. All rights reserved. Developed by Saifullah.id