Ayat Tentang Menyantuni Kaum Duafa

Ayat Tentang Menyantuni Kaum Duafa

Sejahterakan mereka! Sungguh naif, jika kita sebagai muslim tidak peduli
pada nasib saudaranya yang harus menanggung beban hidup begitu berat.
Tentunya masalah ini harus diselesaikan. Kemiskinan dan kemelaratan mereka
sesegera mungkin harus diatasi agar tidak sampai merusak sendi-sendi keimanan.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa kemiskinan dan kemelaratan dapat
menyebabkan seseorang terjerumus dalam kekufuran. Bagaimana ajaran Islam
tentang menyantuni kaum duafa? 
armaila.com - Ayat Tentang Menyantuni Kaum Duafa

Surah Al-Isra -’ [17] Ayat 26–27


Artinya: Dan berikanlah haknya kepada kerabat dekat, juga kepada orang miskin
dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghamburhamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya orang-orang yang
pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada
Tuhannya. (Q.S. al-Isra -’ [17]: 26–27)

Isi Kandungan Al-Qur’an Surah Al-Isra -’ [17] Ayat 26–27
Surah al-Isra -’ [17] ayat 26–27 turun bersamaan dengan beberapa ayat
yang lain. Ayat ini berisi penjelasan tentang kebiasaan atau kegemaran
bangsa Arab jahiliah menumpuk harta yang mereka peroleh dari
rampasan perang, merampok, dan menyamun. Harta-harta itu selanjutnya digunakan untuk berfoya-foya, bahkan juga untuk menghalangi
dakwah Islam.
Kita seharusnya menjauhi kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh
orang-orang kafir dalam menggunakan hartanya. Harta dan kekayaan
merupakan amanah Allah Swt. yang dipercayakan kepada kita. Tidak
sombong atas anugerah kekayaan dan menggunakannya secara benar.
Penggunaan harta secara benar sebagaimana dijelaskan dalam Surah
al-Isra -’ [17] ayat 26–27 sebagai berikut.
a. Memberikan Harta kepada yang Berhak
Harta yang dikaruniakan Allah Swt. hendaknya kita pergunakan
untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Salah satu caranya dengan
memberikan kepada orang yang berhak atau yang membutuhkan.
Dalam memberikan atau membelanjakan harta kepada yang
membutuhkan, kita dianjurkan untuk memprioritaskan golongangolongan tertentu. Dalam Surah al-Isra -’ [17] ayat 26–27 golongangolongan tersebut secara urut adalah kaum kerabat, orang miskin,
dan ibnu sabil.
Pertama, kaum kerabat (al-qurba -), yaitu orang yang memiliki
hubungan kekerabatan atau hubungan darah dengan kita, baik dari
jalur ayah maupun ibu. Inilah golongan yang harus diutamakan
dalam membelanjakan atau memberikan harta. Dalam sebuah hadis
dari Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Ah .mad dan T .abrani,
Rasulullah saw. menjelaskan seperti berikut.
Artinya: Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Dan
mulailah (memberikan harta) kepada orang terdekat . . . .
Dalam memberikan harta
kita dianjurkan untuk mendahulukan kerabat terdekat.
Kerabat terdekat merupakan
anggota keluarga dan kita
diperintahkan untuk mendahulukan mereka dalam
membelanjakan harta. Rasul
juga pernah bersabda yang
artinya, ”Apabila seseorang
bekerja untuk memberi nafkah
keluarganya maka ia telah
berjihad di jalan Allah.” Hadis
ini menunjukkan kedudukan
mulia bagi orang yang bekerja
untuk menafkahi keluarganya.

Memberikan harta dengan mendahulukan kaum kerabat terdekat
dapat diartikan dengan menjaga mereka dari kekufuran. Kemiskinan dan kefakiran lebih dekat kepada kekufuran. Mengentaskan
kerabat dekat dari kefakiran berarti menjaga dan menjauhkan mereka
dari kekufuran, sedangkan kekufuran lebih dekat ke neraka. Allah
Swt. dan rasul-Nya memerintahkan kepada umatnya agar menjaga
keluarga dari api neraka.
Salah satu hal yang mendekatkan kepada api neraka adalah
kekufuran. Oleh karenanya menjaga keluarga atau kerabat dari
kekufuran merupakan cara menjauhkan mereka dari api neraka.
Kedua, kaum fakir miskin (wal-miski -na). Golongan atau kaum fakir
miskin dengan mudah kita temui dalam keseharian. Kaum fakir miskin
ini telah berusaha untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari,
tetapi mereka tidak mampu mencukupinya. Sebagai sesama saudara
kita mesti membantu mereka dengan cara memberikan sebagian harta
yang dikaruniakan Allah Swt. Ada beberapa cara yang dapat kita
lakukan misalnya dengan memberikan zakat dan sedekah kepada
mereka dari harta yang dikaruniakan Allah kepada kita.
Dalam Islam, setiap harta
yang kita miliki sesungguhnya
terdapat hak bagi orang fakir
dan miskin. Oleh karena bisa
jadi, kekayaan kita sesungguhnya sebab kemiskinan mereka.
Oleh karena itu, untuk menjunjung keadilan, orang yang
kaya dianjurkan membantu
yang miskin. Jika perilaku
membantu fakir miskin telah
menjadi kebiasaan seharihari, jumlah mereka dapat
dikurangi.
Kebiasaan membantu atau menyantuni fakir miskin dapat
menjaga kerukunan. Hal ini disebabkan tidak ada lagi kecemburuan
sosial antara si kaya dan si miskin. Dengan tidak adanya kecemburuan
sosial, ketenteraman dan ketenangan akan tercipta. Tindak kejahatan
seperti pencurian dan perampokan dapat terkurangi atau diberantas.
Tindak kejahatan sering kali disebabkan oleh perut yang lapar atau
kesenjangan sosial yang terjadi dalam masyarakat. Jika perut dalam
keadaan lapar, sesuatu yang belum pernah terpikirkan pun dapat
dilakukan. Oleh karena itu, kita harus membantu mereka yang sedang
kelaparan atau kekurangan seperti fakir miskin.

Ketiga, para ibnu sabil adalah mereka yang sedang berada dalam
perjalanan. Perjalanan yang dimaksud di sini adalah perjalanan
bukan untuk bermaksiat kepada Allah Swt. Bagi mereka, Allah Swt.
dan rasul-Nya telah menetapkan hak selayaknya tamu yang datang,
yaitu penyambutan dan penghormatan selama tiga hari serta bekal
untuk melanjutkan perjalanannya.
Kita dianjurkan untuk memperhatikan ketiga golongan di atas,
khususnya dalam pemenuhan kebutuhan fisik berupa harta benda.
Selain itu, mereka juga berhak mendapatkan kebutuhan nonfisik,
seperti kasih sayang, perhatian, dan silaturahmi.
b. Penggunaan Harta Sesuai Kebutuhan
Penggunaan harta harus sesuai dengan kebutuhan. Dengan
demikian, kita dilarang berbuat boros atau berlebihan. Sebagian
mufasir berpendapat bahwa berlaku boros di sini artinya membelanjakan harta untuk memenuhi kebutuhan keluarga, fakir miskin, dan
ibnu sabil secara berlebihan.
Para mufasir lain ada juga yang berpendapat bahwa berlaku boros
artinya menggunakan harta untuk bermaksiat kepada Allah Swt. Jika
kita menggunakan harta untuk bermaksiat kepada Allah, meskipun
sedikit, tetap dianggap sebagai pemborosan. Mengenai larangan
berbuat boros dapat ditemukan dalam firman Allah Swt. berikut ini.
Wa la - taj‘al yadaka maglu -latan ila - ‘unuqika wa la - tabs .ut.ha - kullalbas
.
t.
i fa taq‘uda malu -mam mah .su -ra -(n)
Artinya: Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada
lehermu dan jangan (pula) engkau terlalu mengulurkannya
(sangat pemurah) nanti kamu menjadi tercela dan menyesal.
(Q.S. al-Isra -’ [17]: 29)
Wal-laz .- ina iz .a - anfaqu - lam yusrifu - wa lam yaqturu - wa kana - baina
.z
a -lika qawa -ma -(n)
Artinya: Dan (termasuk hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih)
orang-orang yang apabila menginfakkan (harta), mereka tidak
berlebihan, dan tidak (pula) kikir, di antara keduanya secara wajar.
(Q.S. al-Furqa -n [25]: 67)
Dua ayat di atas menjelaskan bahwa kita tidak boleh berbuat boros
dalam membelanjakan harta. Belanjakan harta dengan cara
membantu fakir miskin sesuai dengan kebutuhan. Jangan mempergunakan harta secara berlebihan. Selain larangan berlebihan dalam
membelanjakan harta kita juga dilarang berbuat kikir untuk memenuhi
kebutuhan diri sendiri, keluarga, dan orang lain. Intinya kita
diperintahkan untuk mempergunakan harta sesuai dengan kebutuhan,
tidak kikir dan tidak boros.
Anjuran untuk membantu kepada sesama jika
direnungkan lebih jauh akan
mengantarkan kita menjadi
seorang dermawan. Agar bisa
berderma, kita biasakan hidup
mandiri. Orang yang suka
berderma, kehidupan ekonominya justru lebih baik karena
ia terdorong untuk bekerja
keras agar dapat membantu
orang lain yang membutuhkan.

Surah Al-Baqarah [2] Ayat 177


Artinya: Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke
barat, tetapi kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada
Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi dan
memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orangorang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), pemintaminta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan salat
dan menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janji apabila berjanji,
dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan dan pada masa
peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan mereka itulah
orang-orang yang bertakwa. (Q.S. al-Baqarah [2]: 177)

Isi Kandungan Surah Al-Baqarah [2] Ayat 177


Asbabun nuzul Surah al-Baqarah [2] ayat 177 menurut riwayat Rabi’
dan Qatadah, yaitu ketika terjadi percekcokan di antara ahli kitab (Yahudi
dan Nasrani) tentang ibadah mereka yang menghadap ke arah barat dan
timur. Di antara mereka menganggap golongannya sebagai yang paling
benar dan berbuat kebajikan. Berbeda dengan umat Islam yang sekadar
mengikuti arah kiblat mereka. Selanjutnya, Allah Swt. menurunkan ayat
177 Surah al-Baqarah [2] ini untuk membantah pendapat dan persangkaan
mereka dengan menjelaskan beberapa amal kebajikan. Berikut ini
dijelaskan tentang amal-amal kebajikan seperti termaktub dalam Surah
al-Baqarah [2] ayat 177.
 
a. Tujuan Ibadah adalah Mengabdi kepada Allah Swt.
Inti pokok ibadah bukan
menghadapkan muka ke arah
kiblat seperti yang diperdebatkan
para ahli kitab. Kiblat hanya
merupakan suatu tanda untuk
kesatuan umat guna mencapai
maksud yang satu dalam beribadah kepada Allah Swt. Kiblat
umat Islam adalah Kakbah di
Masjidilharam. Hal ini bukan
berarti umat Islam menyembah
Kakbah dalam beribadah. Kakbah
hanya sebagai arah dalam beribadah agar kiblat umat Islam
sama. Umat Islam dalam beribadah menyembah Allah Swt.,
zat Yang Mahasempurna bukan
menyembah Kakbah.
Beribadah dan menyembah hanya kepada Allah Swt. merupakan
suatu keharusan bagi manusia. Hal ini karena adanya manusia
diciptakan oleh Allah Swt. Selain itu, Dia telah mengaruniakan nikmat
yang tidak dapat dihitung oleh manusia. Jika memperhatikan badan
sendiri, Anda dapat menemukan banyak nikmat yang dikaruniakan
Allah Swt. Mata, tangan, kaki, mulut, lidah, hidung, dan anggota
tubuh lainnya merupakan karunia atau nikmat yang sangat berharga.
Selain itu, hidup dan kehidupan yang kita rasakan merupakan
karunia-Nya yang harus kita syukuri. Menunaikan ibadah dengan
ikhlas dan menyembah hanya kepada-Nya serta tidak menyekutukanNya merupakan wujud rasa terima kasih kita kepada Allah Swt.

b. Keharusan Memiliki Landasan Rukun Iman
Kebajikan yang sebenarnya adalah kesungguhan untuk
menegakkan iman yang benar dan beramal saleh. Beriman yang benar
dalam ayat ini disebutkan, man a -mana billa -hi wal-yaumil a -khiri walmala -’ikati wal-kita -bi wan-nabiyyi -na. Artinya, siapa pun yang mau
beriman kepada Allah Swt., malaikat, kitab-kitab, dan para nabi.
Keempat hal yang disebutkan di atas merupakan bagian dari
enam rukun iman, selain iman kepada hari akhir dan takdir Allah
Swt. Iman kepada Allah Swt. dan hari akhir akan mendorong
seseorang untuk beramal saleh atau berbuat kebajikan. Keimanan
kepada Allah Swt., malaikat, kitab, rasul, hari akhir, dan qada serta
qadar bukan hanya di mulut, tetapi juga diyakini dalam hati.
Keyakinan tersebut akan tercermin dari perbuatan seseorang sehingga
setiap perbuatan yang ia lakukan mencerminkan keimanannya.
Perbuatan yang dilakukan tidak akan melanggar aturan dan
ketentuan-Nya.
 
c. Beramal Saleh dan Menjalankan Rukun Islam
Beramal saleh dapat dibuktikan dengan memiliki kepedulian untuk membantu
kepada sesama. Bentuk amal
saleh yang dijelaskan dalam
kelanjutan Surah al-Baqarah
[2] ayat 177 artinya, ”Dan (orang
yang) memberikan harta yang
dicintainya kepada kerabat, anak
yatim, orang-orang miskin, orangorang yang dalam per-jalanan
(musafir), peminta-minta, dan
untuk memerdekakan hamba
sahaya yang melaksanakan salat
dan menunaikan zakat . . .”
Seseorang yang merasa telah memiliki keimanan yang benar harus
dibuktikan dengan membiasakan diri untuk selalu beramal saleh.
Amal saleh yang disebutkan pada ayat ini adalah mau memberikan
sebagian hartanya untuk membantu orang lain, yaitu kaum kerabat,
anak yatim, orang miskin, musafir, peminta-minta, atau untuk
memerdekakan budak. Akan tetapi, mengerjakan amal saleh saja juga
tidak cukup, tanpa mengamalkan kewajiban agama yang pokok, yaitu
menunaikan rukun Islam.
Menunaikan salat dan membayar zakat merupakan dua ibadah
yang sering disebutkan secara beriringan. Hal ini juga dapat kita
temukan dalam Surah al-Baqarah [2] ayat 177. Salat merupakan
ibadah sebagai wujud kepatuhan kepada Allah Swt., sedangkan zakat
merupakan ibadah yang mengandung aspek sosial. Zakat merupakan
simbol kasih sayang terhadap sesama. Dengan mengeluarkan zakat,
seseorang telah menunaikan ibadah kepada-Nya sekaligus
menunjukkan kepedulian terhadap sesama.
Iman yang kuat menjadi landasan agar seseorang dapat
menunaikan salat dengan khusyuk dan menimbulkan kasih sayang
terhadap sesama. Kasih sayang terhadap sesama menyebabkan
seseorang dengan senang hati mengeluarkan harta benda yang
dimilikinya untuk membantu sesama yang membutuhkan. Menunaikan rukun Islam yaitu syahadat, salat, zakat, puasa, dan haji serta
bertindak sesuai dengan rukun iman serta beramal saleh akan
menuntun manusia menuju kebahagiaan di dunia dan akhirat.
 
d. Perintah untuk Berakhlak Mulia
Anjuran agar memiliki akhlak yang mulia dijelaskan pada
kelanjutan ayatnya yang artinya, ”Orang-orang yang menepati janji
apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan
dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan
mereka itulah orang-orang yang bertakwa . . . .” Pada ayat ini kita
diingatkan agar memiliki sifat jujur dan bersabar dalam kondisi apa
pun. Kedua sifat ini sangat penting dalam menghadapi tantangan
hidup yang kadang sulit untuk dihadapi. Menepati janji merupakan
perilaku mulia yang diperintahkan Allah Swt. dan rasul-Nya.
Memegang teguh janji meliputi janji kepada Allah Swt. dan janji
kepada sesama manusia. Kita telah berjanji bahwa tidak akan
menyembah selain Allah Swt.
Janji kepada Allah Swt. harus ditepati dengan senantiasa
beribadah dan menyembah hanyak kepada Allah Swt. Tidak
menyekutukan atau meminta kepada selain-Nya. Kita telah bersaksi
bahwa Muhammad saw. adalah rasul Allah Swt. Dengan demikian,
kita harus menepati janji dengan menaati perintah dan menjauhi
larangannya. Oleh karena perintah rasul merupakan perintah Allah
Swt. dan larangannya berarti larangan Allah Swt.
Selain janji kepada Allah Swt. dan rasul-Nya kita harus menepati
janji dengan sesama manusia. Mengingkari janji merupakan salah
satu ciri orang munafik sebagaimana dijelaskan Rasulullah saw. dalam
hadisnya. Dengan demikian, jika tidak ingin termasuk orang munafik,
tepatilah janji yang telah Anda ucapkan.
 
e. Bersabar dalam Menghadapi Ujian
Ujian kadang datang untuk menguji kadar keimanan seseorang.
Kesabaran merupakan kunci utama dalam menghadapi ujian.
Kemiskinan dan kekurangan merupakan ujian dari Allah Swt. untuk
menguji keimanan kita. Dalam kondisi yang demikian kita harus
bersabar dan berusaha guna
mencari jalan keluarnya.
Ujian yang datang tidak akan
mampu menggoyahkan iman
seseorang. Tidak sedikit orang
yang ke-hilangan iman ketika
ujian datang. Keimanan yang
rapuh menyebabkan seseorang jauh dari Allah Swt.
bersama musibah atau ujian
yang datang. Ia tidak dapat
memanfaatkan ujian sebagai
sarana untuk mendekatkan
diri kepada-Nya.
Pada akhir ayat Surah al-Baqarah [2] ayat 177 dijelaskan bahwa
orang-orang yang memiliki keimanan yang kuat, dapat membelanjakan hartanya dengan benar, berkomitmen menjalankan rukun Islam
dengan sempurna, serta mau beramal saleh dan berakhlak mulia
merupakan ciri-ciri orang yang bertakwa. Hal ini menunjukkan
kesempurnaan ajaran Islam, yang memadukan aspek akidah, syariah,
muamalah, dan akhlak. Kita harus senantiasa meningkatkan
ketakwaan kepada Allah Swt. Salat fardu lima waktu merupakan
tiang agama yang harus ditunaikan. Selain itu, kita juga dianjurkan
menunaikan salat sunah.
Melanjutkan pembahasan tentang menyantuni kaum mustad‘afin,
memberikan harta agar dapat dinikmati oleh kerabat kita, fakir miskin,
atau orang lain yang membutuhkan pertolongan, merupakan pokok
ajaran Islam. Peduli kepada orang lain, misalnya dengan mengeluarkan
harta untuk diberikan kepada yang membutuhkan, termasuk amal saleh
yang harus kita biasakan.
Islam melarang keras umatnya jika hanya menyibukkan diri
beribadah, tetapi tidak memperhatikan orang lain. Kita belum dapat
disebut seorang mukmin yang sempurna jika selalu memenuhi kebutuhan
pribadi, tetapi melupakan hak-hak orang lain. Perhatikan pesan Rasulullah
saw. dalam hadis berikut.
Artinya: Barang siapa menghilangkan kesempitan orang mukmin dalam
urusan dunia, Allah akan menghilangkan kesempitannya di hari
kiamat. Barang siapa memudahkan orang yang kesulitan, Allah akan
memudahkan kepadanya di dunia dan di akhirat . . . . (H.R. Muslim
dari Abu Hurairah)
Hak-hak orang lain yang harus kita penuhi pun tidak sekadar dalam
hal tercukupinya kebutuhan ekonomi, tetapi juga bidang-bidang lain yang
bersifat nonfisik. Misalnya perlindungan, keamanan, pendidikan,
penghormatan, dan aktualisasi diri.

Dalil tentang Anjuran Menyantuni Kaum Duafa


Jika menyimak dalam ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadis, dapat ditemukan dalil tentang
perintah menyantuni orang-orang yang membutuhkan. Anjuran tersebut banyak yang
menjelaskan tentang pentingnya bersedekah.

1. Anjuran untuk Bersedekah

Artinya: Jika kamu menampakkan sedekahmu, maka itu baik. Dan jika kamu
menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang-orang fakir, maka
itu lebih baik bagimu dan Allah akan menghapus sebagian kesalahankesalahanmu. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan.
(Q.S. al-Baqarah [2]: 271)

2. Anjuran Bersegera Menginfakkan Harta

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Infakkanlah sebagian dari rezeki yang
telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari ketika tidak ada lagi jual
beli, tidak ada lagi persahabatan dan tidak ada lagi syafaat. Orang-orang
kafir itulah orang yang zalim. (Q.S. al-Baqarah [2]: 254)

3. Keutamaan Menginfakkan Harta Secara Ikhlas
Hak-hak orang lain yang harus kita penuhi pun tidak sekadar dalam
hal tercukupinya kebutuhan ekonomi, tetapi juga bidang-bidang lain yang
bersifat nonfisik. Misalnya perlindungan, keamanan, pendidikan,
penghormatan, dan aktualisasi diri.

walla -hu wa -si‘un ‘ali -m(un)
Artinya: Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti
sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada
seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, dan
Allah Mahaluas, Maha Mengetahui. (Q.S. al-Baqarah [2]: 261)


Mau support lewat mana?

Terbantu dengan artikel ini? Ayo balas dengan Support Kami. Tekan tombol merah!

Posting Komentar

© ARMAILA.com. All rights reserved. Developed by Saifullah.id